Halaman

Sabtu, 04 Agustus 2012

Analisa SWOT Peningkatan Jumlah Anak Berkebutuhan Khusus




Analisa SWOT
Peningkatan Jumlah Anak Berkebutuhan Khusus


1.                  PENDAHULUAN
Seorang anak lahir di dunia dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada anak dengan kondisi normal tetapi ada juga anak yang lahir dengan membawa ”kelainan-kelainan” seperti autis, down syndrome, hiperaktif, tuna rungu, cacat fisik, dan lain-lain. Istilah special need atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) digunakan untuk menggantikan kata anak cacat atau ”Anak Luar Biasa (ALB)”, yang menandakan adanya kelainan khusus tersebut untuk menghindari konotasi negatif (Delphie, 2006). Di Indonesia, anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan layanan antara lain sebagai berikut;
a. Anak yang mengalami hambatan penglihatan (tunanetra), khususnya anak buta (totally blind), tidak dapat menggunakan indera penglihatannya untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari.
b. Anak dengan hambatan pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), pada umumnya mereka mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain.
c. Anak dengan hambatan perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan intelegensi, mental, emosi, sosial, dan fisik.
d. Anak dengan hambatan kondisi fisik atau motorik (tuna daksa). Anakanak tersebut digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya.
e. Anak dengan hambatan perilaku maladjustment atau sering disebut dengan tuna laras. Karakteristik yang menonjol adalah sering membuat keonaran secara berlebihan, dan bertendensi ke arah perilaku kriminal.
f. Anak dengan hambatan autism (autistic children). Anak autistic mempunyai ketidakmampuan bahasa. Anak autistik mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan terisolasi dari lingkungan hidupnya.
g. Anak dengan hambatan hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive). Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala. Cirinya adalah tidak mau diam, suka mengganggu teman, sulit berkonsentrasi, bermasalah dalam belajar, dan kurang atensi terhadap pelajaran.
h. Anak dengan hambatan belajar (learning disability atau specific learning disability). Istilah ini ditujukan pada siswa yang mempunyai prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu, seperti membaca, menulis, dan kemampuan matematika.
i. Anak dengan hambatan kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disabled children). Mereka sering disebut dengan istilah tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup hambatan-hambatan perkembangan neurologis. (Tarmansyah, 2007: 25)
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability, impairment, dan handicaped. Menurut World Health Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut:
1.      Impairment: merupakan suatu keadaan atau kondisi di mana individu mengalami kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologis atau fungsi struktur anatomis secara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seseorang yang mengalami amputasi satu kakinya, maka dia mengalami kecacatan kaki.
2.      Disability: merupakan suatu keadaan di mana individu mengalami kekurangmampuan yang dimungkinkan karena adanya keadaan impairment seperti kecacatan pada organ tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya, maka dia akan merasakan berkurangnya fungsi kaki untuk melakukan mobilitas.
3.      Handicaped: merupakan ketidak beruntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada individu. Handicaped juga bisa diartikan  suatu keadaan di mana individu mengalami ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya fungsi organ individu. Contoh orang yang mengalami amputasi kaki sehingga untuk aktivitas mobilitas atau berinteraksi dengan lingkungannya dia memerlukan kursi roda.
Termasuk anak-anak berkebutuhan khusus yang sifatnya temporer di antaranya adalah anak-anak penyandang post traumatic syndrome disorder (PTSD) akibat bencana alam, perang, atau kerusuhan, anak-anak yang kurang gizi, lahir prematur, anak yang lahir dari keluarga miskin, anak-anak yang mengalami depresi karena perlakukan kasar, anak-anak korban kekerasan, anak yang kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, anak yang tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak berpenyakit kronis, dan sebagainya.
Menurut Heward anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap permasalahn ini, seperti belum tersedianya perlindungan hukum, anggaran yang layak, dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi, klinik, terapis, dan pusat terapi yang murah. Keterbatasan fasilitas tersebut menyulitkan kondisi anak berkebutuhan khusus maupun orang tua mereka. Umumnya para orang tua dari anak berkebutuhan khusus akan rela melakukan apapun agar anaknya bisa disembuhkan. Akan tetapi, seingkali justru sangat sulit menemukan terapi yang tepat atau paling tidak orang yang bersedia meringankan beban mereka.

II.                PEMBAHASAN
Peningkatan jumlah anak-anak berkebutuhan khusus tentu menimbulkan sejumlah rasa prihatin baik dari orang tua, psikolog, professional medis, dan pemerhati lainnya. Kurangnya informasi mengenai anak-anak berkebutuhan khusus menjadi sebuah masalah lain disamping peningkatan jumlah anak-anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil kajian Implementasi Penanganan anak berkebutuhan khusus yang dilakukan di 4 (empat) provinsi (Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan DKI Jakarta) tahun 2010, anak berkebutuhan khusus di lingkungan keluarga saat ini, keberadaannya masih merupakan beban. Kehadiran mereka sering kali dianggap sebagai aib, kutukan, dosa dan karma, sehingga mengakibatkan anak tersebut disembunyikan. Kondisi seperti ini membuktikan masih adanya perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh keluarga maupun masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus. Pemahaman orangtua yang masih rendah tentang kewajiban memberikan kesempatan dan memenuhi hak yang sama merupakan salah satu faktor adanya anak berkebutuhan khusus tidak terdeteksi keberadaannya.
Anggapan akan keberadaan anak berkebutuhan khusus merupakan beban, aib, bencana dan kutukan, mengakibatkan masih banyak orang tua, keluarga dan masyarakat yang menyembunyikannya, sehingga sehingga anak berkebutuhan khusus mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan sebagaimana anak lain seusianya, termasuk hak untuk memperoleh akta kelahiran. Anggapan ini juga mengakibatkan anak berkebutuhan khusus mendapatkan kekerasan termasuk penelantaran dan pemasungan karena anak tersebut sering melakukan perusakan dan tidak bisa diatur serta meresahkan lingkungan sekitarnya.


Permasalahan tersebut diatas, dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1.      Sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait anak berkebutuhan khusus belum intensif dan berkesinambungan, sehingga komitmen rendah
2.      Koordinasi lintas sektor dan lembaga terkait belum optimal
3.      Kuantitas dan kualitas tenaga pelayanan kesehatan, guru dan pendamping masih perlu ditingkatkan
4.      Orang tua, keluarga dan masyarakat belum semua responsif hak-hak anak berkebutuhan khusus
5.      Partisipasi anak berkebutuhan khusus dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan dirinya masih rendah
6.      Belum adanya data prevalensi anak berkebutuhan khusus
7.      Sarana dan prasarana pelayanan publik (lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi, tempat bermain, kegiatan seni budaya, tempat rekreasi, hiburan dan olah raga, serta fasilitas umum lainnya) belum semua ramah dan mudah diakses oleh anak berkebutuhan khusus
8.      Kurangnya sosialisasi tentang hak-hak anak berkebutuhan khusus
9.      Ketidaksiapan orangtua menerima dan mengasuh anak berkebutuhan khusus
10.  Terbatasnya pelayanan rehabilitasi bersumber daya masyarakat bagi anak berkebutuhan khusus
11.  Terbatasnya akses informasi tentang program pendidikan anak berkebutuhan khusus
12.  Terbatasnya keterampilan keahlian kerja bagi anak berkebutuhan khusus
13.  Terbatasnya pemasaran hasil produksi anak berkebutuhan khusus
14.  Terbatasnya pengetahuan dan informasi tentang kesehatan reproduksi
15.  Kurang tersedianya layanan spesialis bagi anak berkebutuhan khusus di provinsi dan kabupaten/kota
16.  Masih banyaknya pelanggaran hak terhadap anak berkebutuhan khusus
17.  Kurangnya kesempatan anak berkebutuhan khusus untuk berprestasi dan penghargaan bagi anak berkebutuhan khusus yang berprestasi
18.  Kurangnya keikut sertaan anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan anak.

Analisa SWOT
Ø  Peningkatan jumlah Anak Berkebutuhan Khusus
1.      Berdasarkan kesiapan orang tua
a.       Kekuatan
·         Memenuhi hak-hak dasar anak berkebutuhan khusus dalam kehidupan sehari-hari tanpa diskriminasi.
·         Memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk melakukan kegiatan secara mandiri.
b.      Kelemahan
·         Ketidaksiapan orang tua menerima dan mengasuh anak berkebutuhan khusus
·         Kurangnya pengetahuan orang tua dalam memberikan pengajaran dan penangan terbaik pada anak berkebutuhan khusus.
c.       Peluang
·         Meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan otang tua dalam penanganan anak berkebutuhan khusus
d.      Ancaman
·         Terjadinya pelanggaran hak anak berkebutuhan khusus
2.      Berdasarkan kesiapan masyarakat
a.       Kekuatan
·         Tersedianya pelayanan rehabilitasi bersumber daya masyarakat
b.      Kelemahan
·         Terbatasnya pelayanan rehabilitasi bersumber daya masyarakat bagi anak berkebutuhan khusus
·         Kurangnya kontrol sosial akan kebijakan pemerintah tentang penanganan anak berkebutuhan khusus dan implementasinya.
c.       Peluang
·         Mendukung dan menfasilitasi potensi yang dimiliki anak berkebutuhan khusus di bidang olahraga, kesenian dan pendidikan
d.      Ancaman
·         Rendahnya penghargaan dan kesempatan anak berkebutuhan khusus untuk berprestasi
3.      Berdasarkan kesiapan Pemerintah
a.       Kekuatan
·         Adanya landasan hukum terhadap anak berkebutuhan khusus
b.      Kelemahan
·         Kurangnya aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus pada sarana dan prasarana publik .
·         Masih terbatasnya tenaga terapis dengan jumlah anak berkebutuhan khusus saat ini.
c.       Peluang
·         Pengadaan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus pada sarana dan prasarana publik : transportasi, fasilitas bangunan/gedung dan pariwisata
d.      Ancaman


III. KESIMPULAN
            Peningkatan jumlah anak-anak berkebutuhan khusus tentu menimbulkan sejumlah rasa prihatin baik dari orang tua, psikolog, professional medis, dan pemerhati lainnya. Kurangnya informasi mengenai anak-anak berkebutuhan khusus menjadi sebuah masalah lain disamping peningkatan jumlah anak-anak berkebutuhan khusus.
Peningkatan jumlah Anak Berkebutuhan Khusus dapat disebabkan oleh beberapa factor yaitu antara lain :
1.      Kesiapan orang tua.
2.      Kesiapan masyarakat.
3.      Kesiapan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar