Analisa SWOT
Peningkatan Jumlah Anak
Berkebutuhan Khusus
1.
PENDAHULUAN
Seorang anak lahir di
dunia dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada anak dengan kondisi normal tetapi
ada juga anak yang lahir dengan membawa ”kelainan-kelainan” seperti autis, down
syndrome, hiperaktif, tuna rungu, cacat fisik, dan lain-lain. Istilah special
need atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) digunakan untuk menggantikan kata
anak cacat atau ”Anak Luar Biasa (ALB)”, yang menandakan adanya kelainan khusus
tersebut untuk menghindari konotasi negatif (Delphie, 2006). Di Indonesia, anak
berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah diberikan
layanan antara lain sebagai berikut;
a.
Anak yang mengalami hambatan penglihatan (tunanetra), khususnya anak buta
(totally blind), tidak dapat menggunakan indera penglihatannya untuk mengikuti
segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari.
b.
Anak dengan hambatan pendengaran dan bicara (tunarungu wicara), pada umumnya
mereka mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara
lisan dengan orang lain.
c.
Anak dengan hambatan perkembangan kemampuan (tunagrahita), memiliki
problema belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan intelegensi,
mental, emosi, sosial, dan fisik.
d.
Anak dengan hambatan kondisi fisik atau motorik (tuna daksa). Anakanak tersebut
digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota
tubuhnya.
e.
Anak dengan hambatan perilaku maladjustment atau sering disebut dengan tuna
laras. Karakteristik yang menonjol adalah sering membuat keonaran secara
berlebihan, dan bertendensi ke arah perilaku kriminal.
f.
Anak dengan hambatan autism (autistic children). Anak autistic mempunyai
ketidakmampuan bahasa. Anak autistik mempunyai kehidupan sosial yang aneh dan
terlihat seperti orang yang selalu sakit, tidak suka bergaul, dan terisolasi
dari lingkungan hidupnya.
g.
Anak dengan hambatan hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive).
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala. Cirinya
adalah tidak mau diam, suka mengganggu teman, sulit berkonsentrasi,
bermasalah dalam belajar, dan kurang atensi terhadap pelajaran.
h.
Anak dengan hambatan belajar (learning disability atau specific
learning disability). Istilah ini ditujukan pada siswa yang mempunyai
prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu, seperti membaca,
menulis, dan kemampuan matematika.
i.
Anak dengan hambatan kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and
developmentally disabled children). Mereka sering disebut dengan istilah
tunaganda yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup hambatan-hambatan
perkembangan neurologis. (Tarmansyah, 2007: 25)
Banyak istilah
yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability,
impairment, dan handicaped. Menurut World
Health Organization (WHO), definisi masing-masing istilah adalah sebagai
berikut:
1. Impairment: merupakan suatu
keadaan atau kondisi di mana individu mengalami kehilangan atau abnormalitas
psikologis, fisiologis atau fungsi struktur anatomis secara umum pada tingkat
organ tubuh. Contoh seseorang yang mengalami amputasi satu kakinya, maka dia
mengalami kecacatan kaki.
2. Disability: merupakan suatu keadaan di mana individu mengalami
kekurangmampuan yang dimungkinkan karena adanya keadaan impairment seperti
kecacatan pada organ tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya, maka dia akan
merasakan berkurangnya fungsi kaki untuk melakukan mobilitas.
3. Handicaped:
merupakan ketidak beruntungan individu yang dihasilkan dari impairment
atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang
normal pada individu. Handicaped juga bisa diartikan suatu keadaan
di mana individu mengalami ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya
fungsi organ individu. Contoh orang yang mengalami amputasi kaki sehingga untuk
aktivitas mobilitas atau berinteraksi dengan lingkungannya dia memerlukan kursi
roda.
Termasuk anak-anak berkebutuhan khusus yang sifatnya
temporer di antaranya adalah anak-anak penyandang post traumatic syndrome
disorder (PTSD) akibat bencana alam, perang, atau kerusuhan, anak-anak yang
kurang gizi, lahir prematur, anak yang lahir dari keluarga miskin, anak-anak
yang mengalami depresi karena perlakukan kasar, anak-anak korban kekerasan,
anak yang kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar, anak
yang tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak berpenyakit
kronis, dan sebagainya.
Menurut Heward anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam
ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan
kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa
dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan
bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan
potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan
menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai
dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B
untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa,
SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya perhatian pemerintah
terhadap permasalahn ini, seperti belum tersedianya perlindungan hukum,
anggaran yang layak, dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi,
klinik, terapis, dan pusat terapi yang murah. Keterbatasan fasilitas tersebut
menyulitkan kondisi anak berkebutuhan khusus maupun orang tua mereka. Umumnya
para orang tua dari anak berkebutuhan khusus akan rela melakukan apapun agar
anaknya bisa disembuhkan. Akan tetapi, seingkali justru sangat sulit menemukan
terapi yang tepat atau paling tidak orang yang bersedia meringankan beban
mereka.
II.
PEMBAHASAN
Peningkatan jumlah anak-anak berkebutuhan khusus tentu
menimbulkan sejumlah rasa prihatin baik dari orang tua, psikolog, professional
medis, dan pemerhati lainnya. Kurangnya informasi mengenai anak-anak
berkebutuhan khusus menjadi sebuah masalah lain disamping peningkatan jumlah
anak-anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil kajian
Implementasi Penanganan anak berkebutuhan khusus yang dilakukan di 4 (empat)
provinsi (Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan DKI Jakarta)
tahun 2010, anak berkebutuhan khusus di lingkungan keluarga saat ini,
keberadaannya masih merupakan beban. Kehadiran mereka sering kali dianggap
sebagai aib, kutukan, dosa dan karma, sehingga mengakibatkan anak tersebut
disembunyikan. Kondisi seperti ini membuktikan masih adanya perlakuan diskriminasi
yang dilakukan oleh keluarga maupun masyarakat terhadap anak berkebutuhan
khusus. Pemahaman orangtua yang masih rendah tentang kewajiban memberikan
kesempatan dan memenuhi hak yang sama merupakan salah satu faktor adanya anak
berkebutuhan khusus tidak terdeteksi keberadaannya.
Anggapan akan keberadaan anak
berkebutuhan khusus merupakan beban, aib, bencana dan kutukan, mengakibatkan
masih banyak orang tua, keluarga dan masyarakat yang menyembunyikannya,
sehingga sehingga anak berkebutuhan khusus mengalami diskriminasi dan tidak
terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan sebagaimana anak
lain seusianya, termasuk hak untuk memperoleh akta kelahiran. Anggapan ini juga
mengakibatkan anak berkebutuhan khusus mendapatkan kekerasan termasuk penelantaran
dan pemasungan karena anak tersebut sering melakukan perusakan dan tidak bisa
diatur serta meresahkan lingkungan sekitarnya.
Permasalahan tersebut diatas,
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait
anak berkebutuhan khusus belum intensif dan berkesinambungan, sehingga komitmen
rendah
2.
Koordinasi lintas sektor dan lembaga terkait belum
optimal
3.
Kuantitas dan kualitas tenaga pelayanan kesehatan,
guru dan pendamping masih perlu ditingkatkan
4.
Orang tua, keluarga dan masyarakat belum semua
responsif hak-hak anak berkebutuhan khusus
5.
Partisipasi anak berkebutuhan khusus dalam
pengambilan keputusan yang terkait dengan dirinya masih rendah
6.
Belum adanya data prevalensi anak berkebutuhan
khusus
7.
Sarana dan prasarana pelayanan publik (lembaga
pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi, tempat bermain, kegiatan seni
budaya, tempat rekreasi, hiburan dan olah raga, serta fasilitas umum lainnya)
belum semua ramah dan mudah diakses oleh anak berkebutuhan khusus
8.
Kurangnya sosialisasi tentang hak-hak anak
berkebutuhan khusus
9.
Ketidaksiapan orangtua menerima dan mengasuh anak
berkebutuhan khusus
10. Terbatasnya
pelayanan rehabilitasi bersumber daya masyarakat bagi anak berkebutuhan khusus
11. Terbatasnya
akses informasi tentang program pendidikan anak berkebutuhan khusus
12. Terbatasnya
keterampilan keahlian kerja bagi anak berkebutuhan khusus
13. Terbatasnya
pemasaran hasil produksi anak berkebutuhan khusus
14. Terbatasnya
pengetahuan dan informasi tentang kesehatan reproduksi
15. Kurang tersedianya
layanan spesialis bagi anak berkebutuhan khusus di provinsi dan kabupaten/kota
16. Masih
banyaknya pelanggaran hak terhadap anak berkebutuhan khusus
17. Kurangnya
kesempatan anak berkebutuhan khusus untuk berprestasi dan penghargaan bagi anak
berkebutuhan khusus yang berprestasi
18. Kurangnya
keikut sertaan anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan anak.
Analisa SWOT
Ø Peningkatan
jumlah Anak Berkebutuhan Khusus
1.
Berdasarkan
kesiapan orang tua
a.
Kekuatan
·
Memenuhi hak-hak dasar anak berkebutuhan khusus
dalam kehidupan sehari-hari tanpa diskriminasi.
·
Memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan
khusus untuk melakukan kegiatan secara mandiri.
b.
Kelemahan
·
Ketidaksiapan
orang tua menerima dan mengasuh anak berkebutuhan khusus
·
Kurangnya
pengetahuan orang tua dalam memberikan pengajaran dan penangan terbaik pada
anak berkebutuhan khusus.
c.
Peluang
·
Meningkatnya
pengetahuan dan ketrampilan otang tua dalam penanganan anak berkebutuhan khusus
d.
Ancaman
·
Terjadinya
pelanggaran hak anak berkebutuhan khusus
2.
Berdasarkan
kesiapan masyarakat
a.
Kekuatan
·
Tersedianya
pelayanan rehabilitasi bersumber daya masyarakat
b.
Kelemahan
·
Terbatasnya
pelayanan rehabilitasi bersumber daya masyarakat bagi anak berkebutuhan khusus
·
Kurangnya kontrol sosial akan kebijakan pemerintah
tentang penanganan anak berkebutuhan khusus dan implementasinya.
c.
Peluang
·
Mendukung dan menfasilitasi potensi yang dimiliki
anak berkebutuhan khusus di bidang olahraga, kesenian dan pendidikan
d.
Ancaman
·
Rendahnya penghargaan dan kesempatan anak berkebutuhan
khusus untuk berprestasi
3.
Berdasarkan
kesiapan Pemerintah
a.
Kekuatan
·
Adanya landasan
hukum terhadap anak berkebutuhan khusus
b.
Kelemahan
·
Kurangnya
aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus pada sarana dan prasarana publik .
·
Masih
terbatasnya tenaga terapis dengan jumlah anak berkebutuhan khusus saat ini.
c.
Peluang
·
Pengadaan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan
khusus pada sarana dan prasarana publik : transportasi, fasilitas
bangunan/gedung dan pariwisata
d.
Ancaman
III.
KESIMPULAN
Peningkatan jumlah anak-anak berkebutuhan khusus tentu
menimbulkan sejumlah rasa prihatin baik dari orang tua, psikolog, professional
medis, dan pemerhati lainnya. Kurangnya informasi mengenai anak-anak
berkebutuhan khusus menjadi sebuah masalah lain disamping peningkatan jumlah
anak-anak berkebutuhan khusus.
Peningkatan
jumlah Anak Berkebutuhan Khusus dapat disebabkan oleh beberapa factor yaitu
antara lain :
1.
Kesiapan orang tua.
2.
Kesiapan masyarakat.
3.
Kesiapan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar