STROKE NON HEMORAGIK
A. PENDAHULUAN
Stroke
sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates. Soranus dari
Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi
stroke. Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia mengetahui stroke
2400 tahun silam. Kala itu, belum ada istilah stroke. Hippocrates menyebutnya
dalam bahasa Yunani: apopleksi. Artinya, tertubruk oleh pengabaian.
Sampai saat ini, stroke masih merupakan salah satu penyakit saraf yang paling
banyak menarik perhatian.(1,2)
Definisi
WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24
jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan
vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular
Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke.(1)
B. INSIDEN
Stroke
mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus dijumpai
pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko
terjangkit stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis kelamin.
Tetapi, stroke lebih banyak menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari
segi warna kulit, orang berkulit berwarna berpeluang terkena stroke lebih besar
daripada orang berkulit putih.(2)
C. EPIDEMIOLOGI
Stroke
adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting,
dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang.(3)
Menurut
taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia
sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah
meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan
17,5 juta kasus stroke di dunia.(2)
Di
Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang
menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker.
Di negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke.
Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus
lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita
lumpuh dan kehilangan pekerjaan.(2)
Di
Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita
kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total
dari serangan stroke dan kecacatan.(2)
D. ANATOMI
Otak
memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis
interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah
memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak
melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan
arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua:
arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini
memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus
temporalis.(1)
Sistem
vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di
arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di
kolumna vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu
mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas
medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah
mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri
basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang
melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.(1)
Ke
3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan
beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke
dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri
serebri lainya. Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya
3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu:(1)
- Sirkulus
Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri
media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua
arteri serebri anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan
arteri komunikans posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan
posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
- Anastomosis
antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah
orbita, masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke
arteri maksilaris eksterna.
- Hubungan
antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah
ekstrakranial).
Selain
itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga
menurut Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan
otak.(1)
Darah
vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang
mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna
yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus
sagitalis superior dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya melalui
vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.(1)
Gambar 2. Vaskularisasi otak tampak superior (dikutip dari
kepustakaan 18)
|
|
Gambar 1. Vaskularisasi otak (dikutip dari kepustakaan 7)
|
|
E. FISIOLOGI
Sistem
karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem vertebrabasilaris
terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior
hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua faktor
yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem
arteri-kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak.
Faktor ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah dan
koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).(1)
Dari
faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor jantung,
darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak
(arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi
bila tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini
disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi normal bila
tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).(1)
Faktor
darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya seperti
kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap
diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2
yang turun, serta suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan
vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2
naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi vasokonstriksi.(1)
Viskositas/kekentalan
darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang besar juga
memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat, akibat ADO menurun.(1)
F. FAKTOR RESIKO
Pemeriksaan
faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter untuk menemukan
penyebab terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke non
hemoragik, yakni:(4,5)
- Usia
lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)
- Hipertensi
- Merokok
- Penyakit
jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan
fibrilasi atrium kiri)
- Hiperkolesterolemia
- Riwayat
mengalami penyakit serebrovaskuler
Resiko
stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas darah
dan penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi megalami
stroke non hemoragik.(4,6)
G. KLASIFIKASI
Stroke
iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:(1)
1. Serangan
Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Pada
bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit
Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND).
Gejala
neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi
tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke
progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
Gejala
neurologik makin lama makin berat.
4.
Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala
klinis sudah menetap.
H. ETIOLOGI
Pada
tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh
emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non
hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan
seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan
timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan
infark serebri.(4)
1.
Emboli
Sumber
embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi dapat
juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.(5)
a)
Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari “plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang
melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b)
Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1)
Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan dengan
bagian kiri atrium atau ventrikel;
2)
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan pada
katup mitralis;
3)
Fibralisi atrium;
4)
Infarksio kordis akut;
5)
Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
6)
Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung miksomatosus
sistemik;
c)
Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1)
Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
2)
Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
3)
Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).
Emboli
dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup
buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati,
gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli
diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di antaranya terjadi pada bulan
pertama setelah terjadinya infark miokard.(4)
2.
Trombosis
Stroke
trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk
sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan
sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah
titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet.(4)
Penyebab
lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi
protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi
yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan
diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik
(contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).(4)
3.
Patofisiologi
Infark
iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya ateroma)
dan arteriolosklerosis. (1,6)
Gambar 4. Penyumbatan pembuluh darah (dikutip dari kepustakaan 6)
Aterosklerosis
dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:(1)
a.
Menyempatkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah.
b.
Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran darah
aterom.
c.
Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
d.
Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian
dapat robek.
Faktor
yang mempengaruhi aliran darah ke otak:(1)
a.
Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus/embolus.
b.
Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisetemial) yang menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat: anemia yang
berat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c.
Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu diingat
apa yang disebut otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik dari pembuluh darah
otak agar aliran darah otak tetap konstan walaupun ada perubahan dari tekanan
perfusi otak.
Batas
normal otoregulasi antara 50-150 mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi
otak bergeser ke kanan.
d.
Kelainan jantung
1)
Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok jantung.
2)
Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.
I. DIAGNOSIS
1.
Gambaran Klinis
a.
Anamnesis
Stroke
harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi akut
(baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat
tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik
meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat
kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum
yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese,
hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia,
vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala
tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan
waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu
tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam
mencari gejalah atau onset stroke seperti:
1)
Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).
2)
Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.
3)
Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4)
Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.(4)
b.
Pemeriksaan Fisik
Tujuan
pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan
beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup
pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi
menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan
pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik
ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan
femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk
menjaga jalan napasnya sendiri.(4)
c.
Pemeriksaan Neurologi
Tujuan
pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke, memisahkan
stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan
menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen
penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan
tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik,
fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang
belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari.
Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy
di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.(4,7)
Gejala-gejala
neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
1)
Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya
antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral, hemianopsia
ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik
ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat
daripada tungkai bawah.(4,8)
2)
Arteri serebri anterior
Umumnya
menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara, timbulnya refleks
primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat kesadaran,
kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai atas),
defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri.(4,8)
3)
Arteri serebri posterior
Menimbulkan
gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan kortikal,
agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan
memori.(4,8)
4)
Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)
Umumnya
sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar, batang
otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia,
sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral, tanda
serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke
jenis ini adalah temuan klinis yang saling berseberangan (defisit nervus
kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).(4,8)
5)
Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)
Gejala
yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio
arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun
cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri oftalmika
(manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut amaurosis
fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media
sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.(4,8)
6)
Lakunar stroke
Lakunar
stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah subkortikal
profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah
hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya
terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan
hipertensi.(4)
2.
Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan
darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula menunjukkan
faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan
leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang
sedang diderita saat ini seperti anemia.(9)
Pemeriksaan
kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki gejalah
seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit
yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).(9)
Pemeriksaan
koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan
antikoagulan.(9)
Biomarker
jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit
jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara
peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.(9)
3.
Gambaran Radiologi
a.
CT scan kepala non kontras
Modalitas
ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik
secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian
trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk
menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya
kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses).(4)
Adanya
perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12
jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan
terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang
luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya
stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon
sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan
gray-white matter.(4,10)
b.
CT perfussion
Modalitas
ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah awal
terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras,
perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan
terjadinya iskemik di daerah tersebut.(4,17)
c.
CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan
CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA). Pemeriksaan
ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan
lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat
memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan
gambaran hipodense.(4)
d.
MR angiografi (MRA)
MRA
juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada
stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan
biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang.(4,10)
Protokol
MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat
dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging
(DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan
sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik akut. DWI dapat
mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI juga
dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung perfusi
daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan
dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.(4)
e.
USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
Untuk
evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi
arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG
transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih
lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri
vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien
dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.
Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain
itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium
kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah
EKG dan foto thoraks.(4)
J. PENATALAKSANAAN
Target
managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan
pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba.
Keputusan penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi,
pengontrolan tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan dari
pemberian terapi trombolitik.(6,12)
1.
Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien
dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari
intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak besar maka
target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol
intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan
oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan
terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada
stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial,
hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.(11,12,13,14)
b. Circulation
Pasien
dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan
jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung
dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat
menyebabkan terjadinya stroke.(11,12,13,14)
c.
Pengontrolan gula darah
Beberapa
data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang kurang
baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik
tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah
besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral
eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan
pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl.
Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien pulang untuk
mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.(11,12,13,14)
d.
Posisi kepala pasien
Penelitian
telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika pasien
dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada
kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan
kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.(11,12,13,14)
e.
Pengontrolan tekanan darah
Pada
keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK,
pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya
bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk
mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk
menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang nantinya
akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa pemberian
terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang
ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien
direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.(11,12,13,14)
Adapun
langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik
adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi
trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah
diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic
maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi) dan gejala stroke
serta komplikasinya harus ditangani.(11,12,13,14)
Untuk
pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140 mmHg
maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika
tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit
hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan
nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang
diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga mencapai dosis
maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan nitroprusside 0,5
mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah
nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.(11,12,13,14)
Pada
pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg,
dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan
dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar
tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat
diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu
kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5 mg/jam
yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.(11,12,13,14)
Pengawasan
terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa setiap 15
menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap
jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15
persen dari nilai awal. Untuk mengontrol tekanan darah selama opname maka agen
berikut dapat diberikan.(11,12,13,14)
1.
TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan
labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit
hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.
2.
TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan
labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis
maksimal 15mg/jam.
3.
Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat
menyebabkan hipotensi ekstrim.
f.
Pengontrolan demam
Antipiretik
diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena hipertermia
(utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal
iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan
dapat berfungsi sebagai neuroprotektor.(11,12,13,14)
g.
Pengontrolan edema serebri
Edema
serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai
puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian
manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.(11,12,13,14)
h.
Pengontrolan kejang
Kejang
terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset. Meskipun profilaksis
kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan
menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.(11,12,13,14)
2.
Penatalaksanaan Khusus
a.
Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena
akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu
menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.(15)
Pada
penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di
Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah
onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis
tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam.
Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau
hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral,
yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.(15)
Tetapi
pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan
secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan
adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil dari
penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua
(ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu
tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang
meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral
dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di
Eropa.(15)
Kontroversi
mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan bahwa terapi
trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat
besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi
tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman
dari streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter Acute Stroke
Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan streptokinase 1,5 juta
unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata
meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik
akut tidak dianjurkan.(15)
b.
Antikoagulan
Warfarin
dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta
yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah
terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan
hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri
basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral akibat kardioemboli.
Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan
intraserebral karena pemberian heparin tersebut.(15)
1)
Warfarin
Segera
diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro
plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading
dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang
merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.(16)
2)
Heparin
Merupakan
acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast cells.
Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan
darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein
lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150
menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000
unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam
fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting Time.
Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15
menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare.
Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat
dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal. Akan tetapi kemungkinan
perlu diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk
menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1
mg heparin (100 unit).(16)
c.
Hemoreologi
Pada
stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit,
berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar
fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan
pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi
hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan
cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan
menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi
viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari,
maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.(15)
d.
Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
1)
Aspirin
Obat
ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau mengurangi
lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2.
Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai
bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat
ini sering dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE)
memakai dosis aspirin 975 mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari
dengan hasil yang efikasius.(16)
Dosis
lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum
terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai
2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise
ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma:
50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara
konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine,
tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin
pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah,
perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.(16)
Alasan
mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah
kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini
memungkinkan platelet untuk menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid,
hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid – oksigenase).
Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah aspirin, walaupun
penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.(16)
Aspirin
mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang
memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet.
Sayang ada yang mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.(16)
2)
Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien
yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan
tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi
platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran
platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh
ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan
nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan
13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan
penggunaan tiklopidin.(16)
Setyaningsih
at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi
tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan sejumlah 7 studi
terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada
plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik.(16)
Efek
samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila
obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari
selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi jarang, adalah pur-pura
trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.(16)
e.
Terapi Neuroprotektif
Terapi
neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan
sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang
terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan
jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai
terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun pada
manusia.(15)
f.
Pembedahan
Indikasi
pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin
buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan
dari jaringan yang mengalami infark harus dilakukan.(18)
1)
Karotis Endarterektomi
Prosedur
ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang mengalami
stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau
yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka
kombinasi Carotid endarterectomy is a surgical procedure that cleans out plaque
and opens up the narrowed carotid arteries in the neck.endarterektomi dan
aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke.
Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler
atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis
endarterektomi berkisar 1-5 persen.(18)
Gambar 10. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang
menghilangkan plak dari lapisan arteri (dikutip dari kepustakaan 18)
2)
Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan
angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta pemasangan
sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri
masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih
aman dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk
terjadi restenosis lebih besar.(18)
K. KESIMPULAN
Berdasarkan
data yang disajikan di atas, kami menyimpulkan bahwa setiap pasien dengan
stroke akut harus individulized berdasarkan usia, CT scan temuan (adanya atau
kehadiran pergeseran garis tengah, hypodensity fokus). An expert opinion should
be formed with the contribution from neurologist, vascular surgeon and
interventional radiologist. Pendapat pakar harus dibentuk dengan kontribusi
dari ahli saraf, dokter bedah vaskular dan radiolog intervensi. High risk
patients should be treated with urgent CAS after the correction of the
coagulation cascade. Karotis endarterektomi mengurangi risiko stroke pada
pasien dengan gejala stenosis paling sedikit 70 persen, sebagaimana ditentukan
oleh arteriography. Percobaan saat ini adalah mengatasi pertanyaan apakah
endarterektomi bermanfaat untuk pasien dengan derajat stenosis karotis moderat.
Manfaat endarterektomi untuk pasien dengan lesi karotid asimtomatik masih belum
jelas.
Uji
klinis acak telah membuktikan bahwa terapi warfarin mengurangi risiko stroke
pada pasien dengan atrial fibrilasi nonvalvular dan pada mereka yang telah
memiliki infark miokard. Pada pasien yang tidak kandidat untuk terapi
antikoagulan jangka panjang, aspirin bermanfaat, tapi pengurangan risiko lebih
kecil dengan aspirin dibandingkan dengan warfarin. Pada pasien dengan gejala
iskemik serebral asal noncardiac, aspirin dan ticlopidine mengurangi risiko
stroke, tapi manfaat itu sederhana. Mengingat sendirian, tidak dipyridamole
atau sulfinpyrazone mencegah stroke. Pertanyaannya tetap apakah salah satu dari
obat ini ditambah aspirin lebih baik daripada aspirin saja. Dosis optimal
aspirin untuk pencegahan stroke belum ditentukan.(19,20)
L. KOMPLIKASI
Komplikasi
yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema serebral,
transformasi hemoragik, dan kejang.(21)
1.
Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun
agak jarang (10-20%)
2.
Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator
independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain
untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat,
meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut
belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark
mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak
rumit, tanpa adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan
dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan
hematoma yang memerlukan evakuasi.
3.
Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami
serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder
dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan
kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.
M. PROGNOSIS
Stroke
berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting adalah sifat
dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien, penyebab
stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis.
Secara keseluruhan, agak kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan selama
paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10
tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan, mengingat usia
lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat dari periode
akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi independen,
sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional.(11,22,23)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang gangguan
peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan keenam editor
Harsono. Gadjah Mada university press, Yogyakarta. 2007. Hal: 81-115.
2.
Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2007. Hal: 1-13
3.
Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan
Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.
5.
Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam Neurologi
klinis dasar edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93.
7.
D. Adams. Victor’s. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8th
Edition. McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67
8.
Chung, Chin-Sang. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical Neurology
editor Christopher G. Goetz. W.B Saunders Company: 1999. Hal: 10-3
11.
Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 966-71.
13.
Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu
penyakit saraf. Penerbit Airlangga University Press. Hal: 245-58.
14.
Hughes, Mark. Miller, Thomas. Nervous System Third Edition. University of
Edinburgh, Edinburgh, UK.
15.
Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-67.
16.
Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer dan
prevensi sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika.
Hal: 53-73.